Kegiatan penyebaran agama Islam merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Tampaknya penyebaran agama Islam sudah ada dibeberapa bagian Indonesia dalam masyarakat-masyarakat lokal khususnya di Kalimantan Barat. Pada umumnya ada dua proses berlansung penyebaran agama Islam. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudia menganutnya. Kedua, orang-orang Asia (Arab, India Cina dan lain-lain) yang telah memeluk agama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah, kemudian melakukan perkimpoian campuran dan mengikuti gaya hidup lokal sampai demikian rupa, sehingga mereka itu sudah menjadi anggota suku lainya. Di antara penyebar agama Islam yang melakukan kegiatan tersebut adalah orang Arab. Beberapa di antaranya mendapat kewibawaan sebagai syarif atau syech yang memperoleh pengaruh besar di kalangan raja, raja seperti Palembang, Banjarmasin, Cirebon, Siak dan Pontianak. Sebagai syarif, pengaruh itu jauh melampaui bidang ekonomi dan agama, seperti beberapa kejadian yang telah memperoleh kekuasaan politik yang besar, bahkan ada yang berhasil mengeser dinasti yang berkuasa dan juga ada yang membangun kerajaan baru dengan berkuasa penuh dan berdaulat sendiri seperti halnya kerajaan Pontianak. Pada masa sultan Syarif Yusuf Alkadri berkuasa keadaan kerajaan Pontianak tumbuh dan berkembang pesat karena kealiman beliau menjadi garik tarik tersendiri sehingga pendatang dari berbagai penjuru datang untuk menemui beliau. Keadaan demikian penulis mencoba untuk mendapatkan data-data dari masa lampau tentang sejarah Kampung Dalam Bugis, yang kemudian mencoba untuk menulisnya sebagai sejarah Kampung Dalam Bugis.

Sehubungan data tertulis tidak diperoleh maka penulis mencoba untuk mengumpulkan data-data tentang sejarah kampung ini melalui para informan. yang terdiri dari tokoh-tokoh berpengaruh di kampung ini. Data yang diperoleh dari para informan terus diolah hingga berupa data yang valid. Dari data dan keterangan yang bersumber dari informan tersebut, dapatlah disusun tentang sejarah Kampung Dalam Bugis sebagai berikut: Sejarah tentang berdirinya Kampung Dalam Bugis. Sekitar tahun 1872 Sultan Syarif Hamid Alkadri meninggal, sebagai gantinya Syarif Yusuf Alkadri yang juga putra sulung Syarif Hamid Alkadri diangkat sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasanya telah hilang politiknya, dalam menentukan pajak harus tunduk kepada pemerintah Belanda dan sultan hanya mengkordinasi penarikan pajak yang kemudian hasilnya diserahkan kepada pemerintah Belanda. Sultan Syarif Yusuf terkenal sebagai Sultan yang sangat kuat berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam dan menjadikannya terkenal di antara raja-raja baik yang ada di Kalimantan Barat maupun di luar Kalimantan Barat. Sehingga semakin banyak berdatangan para pedagang dari daerah Bugis, Banjar, Bangka dan Belitung, Serasan dan Tambelan, Sampit, Kamboja, Bali, Melayu dan sebagainya. Kemudian para pedagang ada yang berminat dan meminta restu kepada Sultan untuk menetap dan membuka pemukiman baru di sepanjang Sungai Kapuas yang kemudian dikenal dengan kampung – kampung yang beroentasi dengan daerah asal pendirinya. 1 (Wawancara Syarif Usman Mek Al-Idrus 19 April 2004 di Pontianak). Kampung Dalam Bugis berdiri atas perintah Sultan Syarif Yusuf kepada orang- orang Bugis yang datang dari Sulawesi Selatan. Kedatangan orang – orang Bugis disambut baik oleh raja dikarenakan kebijaksanaan raja untuk menghormati tamu yang datang ke daerah Kalimantan Barat, permintaan orang – orang Bugis untuk mencari tempat tinggal diberikan oleh Sultan Syarif Yusuf disekitar Keraton Kadriah untuk dijadikan perkampungan dan dijadikan sebagai tempat tinggal sejak itulah bernama Kampung Dalam Bugis

.Kota Pontianak pada awal berdirinya berbentuk sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang Sultan yang berasal dari Arab yaitu Pangeran Syarif Abdurrahman yang kemudian bergelar Sultan Syarif Abdurrahman. Sultan Syarif Abdurrahman merupakan putera sulung dari Al Habib Husin Al Kadri seorang penyiar agama Islam dari Arab. Kerajaan Pontianak yang berpusat di Istana Kadriah terletak di persimpangan antara Sungai Kapuas Besar dan Sungai Landak di sebuah kampung yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kampung Dalam Bugis.

Sebelum berdirinya Kampung Dalam Bugis, daerah yang sekarang menjadi Kampung Dalam Bugis, pada awalnya merupakan kampung dengan sebutan Kampung Dalam yang bersebelahan dengan Kampung Luar (Tambelan Sampit). Pada waktu itu Kampung Dalam merupakan pusat Kerajaan Pontianak dibawah kesultanan Syarif Yusuf Alkadri.

Perkembangan lebih pesat terjadi bagi Pontianak dengan adanya pedagang-pedagang yang datang dari berbagai daerah nusantara dan luar nusantara yang sebagian menetap dan mendirikan pemukiman setelah mendapat ijin dari sultan Syarif Yusuf Alkadri untuk membuka hutan untuk dijadikan tempat hunian. Ijin juga pernah diberikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman kepada pedagang pendatang yang menetap mendirikan perkampungan baru di Pontianak yang berorientasi pada asal pendiri perkampungan tersebut, seperti Haji Abdul Kahfi salah seorang pedagang dari Banjarmasin mendirikan Kampung Banjar Serasan pada tahun 1846. Kemudian disusul Haji Yusuf Saigon yang juga seorang pedagang dari Banjarmasin untuk membuka Kampung Saigon yang diambil dari nama negeri asal kelahiran istrinya yaitu Kota Saigon (Vietnam). ( Hasanuddin, et all. 2000. Pontianak 1771-1900: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi. Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.Halaman:40).

Kemudian setelah itu banyak berdiri perkampungan-perkampungan yang berorientasi pada nama asal pendirinya, sehingga menyebabkan terbentuknya masyarakat heterogen yang merupakan salah satu ciri utama penduduk Pontianak. Perkampungan yang mencerminkan heterogenitas etnis dan bangsa terlihat dari nama-nama kampung seperti Kampung Arab, Bangka Belitung, Kamboja, Jawa, Bugis, Melayu, Bali, Banjar dan lain-lain. Menurut Veth para pedagang yang menetap dan mendirikan perkampungan itu pada umumnya mereka memilih lokasi pemukiman di sekitar Sungai Kapuas dan di sepanjang Sungai Kapuas Kecil.

Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa sungai merupakan jalur transportasi utama yang terpenting sehingga memudahkan hubungan dagang mereka baik pada kerjaan-kerajaan di sekitar Pontianak maupun ke daerah pedalaman (hulu). Kawasan perkampungan para pedagang tersebut letaknya paralel dengan pusat kerajaan Pontianak, ini dimaksudkan sebagai cermin dari kedekatan hubungan para pedagang dengan Kesultanan Pontianak dan sekaligus bentuk jaminan keamanan yang diberikan Sultan kepada para pedagang.